Senin, 14 Mei 2012

Dibawah Sayap Malaikat

"Buat apa kamu kuliah???", teriak Haji Ilyas kepada anaknya Syamsul
"Kuliah itu hanya buang-buang uang saja, lihat saja si Rahman, bapaknya sampai rela menjual sawah satu-satunya buat menyekolahkan anaknya sampai ke Jawa. Tapi apa hasilnya? pulang ke Kalimantan malah jadi tukang jaga toko baju..!!!".

Syamsul hanya tertunduk termenung usai mengungkapkan perasaannya untuk kuliah, dan menolak permintaan abahnya untuk membantu berjualan emas di pasar. Syamsul adalah anak paling bungsu di antara 7 bersaudara, dan kakak-kakaknya tidak ada yang pernah melanjutkan sekolah lebih dari tingkat SMA. Semua kakak-kakaknya memilih menjadi pedagang yang berawal dari membantu abah berjualan emas di Pasar, kini kakak-kakaknya sudah hidup mapan dan berkeluarga.

Namun, Syamsul tetap ingin menginjakkan kaki di Perguruan Tinggi, bahkan di antara teman-teman Aliyah nya, hanya Syamsul yang memiliki cita-cita untuk kuliah. Di Desanya kuliah memang bukanlah sebuah pilihan populer, mengingat banyak orang tua yang sudah membayar mahal-mahal agar anaknya bisa kuliah, namun yang terjadi setelah lulus mereka hanya menjadi pengangguran dan sering menjadi tidak sopan dengan orang tua dan warga di Desa.

Contohnya saja si Laras, sebelum pergi ke Banjarmasin untuk kuliah. Perempuan cantik ini berjilbab dan dikenal sopan. Namun, baru tiga tahun berpisah dari orang tua, Laras malah pulang ke Desa dengan tanpa jilbab di kepalanya di tambah perutnya yang memebesar.

Ataupun si Rahmadoni yang disekolahkan Ayahnya sampai ke Singapura. Namun malah memilih menikah dengan orang yang berbeda keyakinan dan menetap di Singapura. Hingga kini dia tidak pernah pulang, meski ayahnya sakit-sakitan.

Meskipun sering dipengaruhi oleh kakak-kakanya dan warga agar mengurungkan niatnya untuk kuliah, Syamsul tetap ingin merantau dan menuntut ilmu di luar Desanya. Baginya, kasus Rahman, Laras dan Rahmadhoni tidak akan membuatnya takut untuk tinggal jauh dari orang tua. Bekal sekolah di madrasah ketika pagi dan turut serta mengaji di sebuah Pesantren ketika sore hari akan menjadi modal berharga baginya di tanah rantau kelak. Apalagi niatnya ikhlas untuk menuntut ilmu, Insyaallah, Tuhan akan menjaganya.

"Ulun tetap ingin kuliah abah,". Suara Syamsul pelan, berusaha melembutkan hati abahnya.

"Kalau kau masih ingin kuliah, terserah kamu saja!!!!, tapi ingat abah tidak akan mengeluarkan biaya sepeserpun untuk kamu kuliah..!!!"

Syamsul terdiam sejenak, lalu menarik nafas panjang.
"Abah, meskipun ulun tidak mendapatkan biaya dari pian. Itu tidak apa-apa, umur ulun sudah 19 tahun, sudah saatnya ulun hidup mandiri. Ulun berjanji tidak akan merepotkan pian selama ulun kuliah, Insyaallah".

Haji Ilyas menatap anaknya, nampak terkejut dengan tekad bulat Syamsul untuk kuliah.

"Baiklah, terserah ikam saja, tapi ingat. Jika ikam mempermalukan keluarga selama ikam kuliah. Jangan lagi ikam datang ke abah. Dan tidak ada warisan sepeserpun buat ikam, camkan itu!!!!"

"Inggih abah, ulun berjanji akan menjaga nama baik keluarga".

Abah menarik nafas panjang, heran dengan anak paling bungsunya ini yang sangat ngotot untuk kuliah meski sudah diancamnya. Dengan menggeleng-gelengkan kepala, Haji Ilyas lalu meninggalkan Syamsul sendirian. Tak lama, datang Ummi Khadijah datang dan merangkul bahu anak yang sangat dicintainya itu.".

"Nak, sungguh-sungguh kah ikam mau pergi merantau tanpa biaya sepeserpun". Ummi berucap dengan air mata yang membasahi pipinya.

"Inggih ummi, ulun sudah yakin. Tidak ada yang perlu ulun takutkan. Niat ulun ikhlas karena Allah". Syamsul mengusap air mata umminya.
 ****

Besoknya tanpa didampingi oleh ayahnya. Syamsul menunggu sebuah Taxi di samping jalan raya untuk menuju Banjarmasin. Hanya ada ibunya yang mengantarkannya.

"Nak, simpan ini ada beberapa uang tabungan ibu untukmu". Ummi Khadijah menyodorkan sebuah amplop.

"Jangan ummi, ulun kada handak merepotkan Ummi".

"Jangan ditolak nak, ikam disana pasti harus makan dan mencari tempat tinggal. Untuk kuliah juga pasti ada uang pendaftaran dan lain-lain. Jangan ditolak nak, kamu wajib menerimanya".

Syamsul menatap wajah tua Umminya.
"Ummi, maafkan Syamsul karena selama ini belum bisa membahagiakan Umii dan Abah. Hanya bisa merepotkan". Syamsul mencium tangan umminya.

"Belajarlah yang giat Syamsul, jangan lupa sering-sering telepon ke rumah. Usahakan pulang di setiap bulan Ramadhan dan Idul Adha. Doa Ummi menyertaimu, Allah selalu bersamamu".

Saat berada dalam Taxi, Syamsul menoleh ke arah umminya. Dia tidak akan lupa doa ibunya, itulah motivasinya. Bahwa Doa ibunya selalu menyertainya dan Allah pasti akan bersamanya.
***

Sesampainya di Banjarmasin, Syamsul agak kebingungan mencari tempat tinggal. Bisa dibilang dia betul-betul nekat pergi ke Banjarmasin dengan hanya bermodalkan uang pemberian ibunya sebesar tiga ratus ribu rupiah.

Namun, Syamsul bukan berarti tidak ada rencana. Dia bertekad untuk menyimpan uang umminya itu untuk membayar pendaftaran kuliah dan spp jika nanti diterima. Untuk tempat tinggal dia akan berusaha melamar sebagai marbot mesjid atau musholla. Namun ,rencana itu memang belum tentu berjalan mulus ketika dijalankan. Sudah hampir Isya, Syamsul belum juga menemukan mesjid atau musholla kosong yang membutuhkan seorang marbot. Semuanya sudah penuh terisi.

Usai menunaikan ibadah Isya, Syamsul memilih beristirahat di sebuah musholla. Badannya terasa pegal-pegal karena seharian berjalan kaki. Tiba-tiba perut Syamsul berbunyi kencang, dia baru sadar jika semenjak datang ke Banjarmasin perutnya masih belum diisi apa-apa. Uang diamplopnya ada sekitar dua ratus lima puluh ribu lagi, berkurang karena membayar ongkos taxi sebesar lima puluh ribu.

Sambil berjalan mengarungi gang yang sunyi mencari sebuah warung untuk sekedar mengisi perutnya dengan mie goreng rebus. Tiba-tiba Syamsul terkejut setelah melihat ada seorang pemuda yang dicegat oleh empat pria besar penuh dengan tato. Nampak pemuda itu sangat ketakutan karena di todong dengan sebilah parang. Semula, Syamsul hendak ingin menjauh. Tapi tentu saja meninggalkan pemuda yang ketakutan itu dalam bahaya adalah perbuatan pengecut. Bagaimana jika dirinyalah yang berada dalam situasi tersebut?. Akhirnya dengan memberanikan diri, Syamsul lalu berteriak dengan sekencang-kencangnya "Toloooongg... Tolonggg.... Ada Rampoook...!!!!".

Teriakan Syamsul jelas membuat terkejut empat pria bengis tadi, dan tanpa disadari oleh Syamsul salah seorang diantaranya dengan cepat menghampiri Syamsul. Tanpa sempat bereaksi, seorang pria berkepala botak dengan pisau ditangannya dengan keras membenturkan gagang pisaunya ke kepala Syamsul. Duaaakkk!!!!

"Kurang ajar kau, ikut campur saja!!!!", teriak lelaki itu. Sebuah tendangan keras kembali disarangkannya ke perut Syamsul. Syamsul hanya meringis kesakitan.

Lelaki itu lalu merogoh kantong Syamsul dan menemukan sebuah amplop putih. Amplop pemberian ibunya.

"Jangan mas, jangan. Itu uang saya satu-satunya!!!". Pinta Syamsul sambil memegang tangan preman itu.

"Melawan  kau ya!!!!??, Rasakan ini!!!". Syamsul terkejut setelah preman itu menancapkan pisaunya ke perutnya. Benda itu terasa dingin, mata Syamsul terbelalak. Inikah akhir dirinya?? pikir Syamsul. Belum sempat dia mewujudkan cita-cita, sudah harus berakhir di tangan seorang preman.

"Mampus kau!!!!, makanya jangan campuri urusan orang!!!". Si Preman siap-siap kembali menancapkan pisaunya ke perut Syamsul. Tapi tiba-tiba...

"Hei, hentikan!!!!!, teriak seseorang dari kejauhan. Terlihat ada segerombolan warga yang berlari ke arah mereka. Dengan membawa obor.

"Gawat, ada warga. Ayo kita lari!!!!!". Teriak seorang preman yang kurus tinggi berambut gondrong, menarik-narik tubuh preman yang botak.

Ke empat preman itu lari terbirit-birit ke sebuah mobil angkot dan melupakan pemuda tadi yang akan mereka curi sepeda motornya. Sayang mereka berhasil kabur dari sergapan warga.

"Pak-pak tolong pak. Ada yang terluka". Pemuda itu brlari dan memegangi tubuh Syamsul

"Ayo, segera kita bawa ke rumah sakit. Yang lain kejar mobil angkot tadi..!!". Perintah seorang warga.

Beberapa warga lalu menggotong tubuh Syamsul yang mulai lemas. Dalam benak Syamsul terlintas wajah Abah dan Umminya. "Maafkan Syamsul Abah, Ummi...", suara Syamsul kian pelan. Hingga terlihat samar-samar seberkas cahaya.....

Bersambung......


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls