Minggu, 30 Desember 2012

Hanya Orang Gila Yang Buka Usaha di Indonesia


Terima kasih sudah menyempatkan waktu anda untuk membaca tulisan ini. Yang judul sebenarnya adalah "Penyakit Birokrasi Menjegal Pengusaha". Tulisan ini saya kirimkan ke sebuah media lokal di Kalsel 1 minggu silam. Tapi oleh pihak redaksi masih dianggap belum layak muat.
Sumber tulisan ini sendiri adalah hasil diskusi yang saya tonton di sebuah televisi ditambah beberapa referensi  dari internet. Mungkin kawan-kawan yang pernah merasakan bagaimana rasanya mengurus perizinan usaha bisa berbagi disini. Saya sendiri memang mengalami 'kesulitan' dan memerlukan waktu yang lama meski hanya untuk mengurusi dokumen perizinan usaha. Dan silahkan beri masukan terhadap tulisan saya, mengingat saya masih harus banyak belajar dari rekan-rekan yang sudah berpengalaman.

Menjelang akhir tahun 2012, Indonesia nampaknya belum menjadi surga bagi para Entrepreuner. Dahi para pelaku usaha malah semakin berkerut karena masih buruknya birokrasi dalam penanganan dunia usaha. Salah satu penyakit warisan yang belum sembuh hingga sekarang adalah masalah perijinan usaha yang rumit dan berbelit-belit.

Memang kurang menyenangkan saat melihat hasil survey The Asia Foundation, dimana Indonesia masih menempati peringkat pertama di antara Negara-negara Asia-Pasifik sebagai Negara terlama dan korup dalam hal pengurusan izin usaha (Sumber : unisosdem.org).

Dalam laporan Doing Business oleh International Finance Corporation (IFC). Disebutkan bahwa untuk mendirikan usaha di Indonesia menghabiskan rata-rata 9 prosedur, 33 hari dan 22 % dari pendapatan per kapita nasional (Sumber : yptrading.co.id). Hasil ini memang lebih cepat 13 hari dan 8 % lebih murah dibandingkan laporan tahun 2010. Tapi Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara Asia-Pasifik lainnya. Sebut saja Malaysia, negara tetangga ini hanya memerlukan waktu 10 hari saja untuk mengurus izin mendirikan usaha. Sementara negara-negara seperti Selandia Baru, Australia dan Singapura hanya perlu 3 hari dan biaya 1 % saja dari pendapatan perkapita yang perlu dibayarkan dalam proses perizinan. Bahkan di Thailand proses izin usaha hanya memerlukan waktu selama 1 hari.

Tidak maksimal dan buruknya pelayanan serta banyak sekali pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan birokrasi ini, membuat para pengusaha yang ingin melegalkan usahanya memilih menjalankan usaha meski tanpa izin. Adapun yang berusaha mengurus dengan baik, malah kerap tidak mendapatkan kejelasan kecuali mereka mau mengeluarkan uang yang tidak jelas digunakan untuk apa. Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan bahwa dari 7.500 perusahaan di Indonesia yang mengajukan izin usaha, hanya sepertiganya yang terlayani dengan baik (Sumber : Media Indonesia.com). Pemerintah yang berasalan kekurangan tenaga untuk melayani sebetulnya tidak masuk akal, karena jumlah PNS yang mencapai 4,7 Juta orang ditambah Struktur Kabinet yang sangat gemuk. Tak sebanding dengan jumlah pengusaha Indonesia yang hanya berjumlah 400 ribu, atau hanya 0,18 % dari 240 juta penduduk Indonesia.
Sikap pemerintah seolah-olah menjegal para pengusaha yang diharapkan mampu menjadi solusi bagi kemiskinan dan pengangguran yang melanda negeri ini. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan akan bisa berkembang dengan pesat jika tidak memiliki izin yang legal. Karena dengan izin tersebut, sebuah perusahaan bisa mendapatkan akses kredit dan perbankan untuk menambah modal. Begitu pula jika ingin menembus pasar yang lebih luas, misalnya pasar-pasar modern di dalam dan luar negeri.

Padahal dengan mudahnya mendapatkan status formal bagi pelaku usaha terutama sektor Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), Negara sebetulnya juga bisa mendapatkan keuntungan. Dengan status informal saja, UMKM mampu memperkerjakan 79 % tenaga kerja di Indonesia dan mampu menyumbang 56 % dari PBD setiap tahun. Entah kenapa pihak pemerintah enggan memanfaatkan peluang ini. Dari penelitian Pusat Layanan Perizinan Terpadu (PLPT) The Asia Foundation menyebutkan bahwa laba perusahaan pada umumnya naik setelah di formalisasi. Hal serupapun sebetulnya bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia jika mau lebih serius memperbaiki masalah perizinan ini. Target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 8 % per tahun juga bisa segera terwujud.

Namun, pada kenyataannya. Meski para pengusaha mengetahui bahwa izin usaha juga bisa membantu perkembangan usahanya. Banyak yang enggan berurusan dengan birokrasi pemerintahan. Hal ini karena para pengusaha memperhitungkan manfaat perizinan yang kecil, sementara biaya yang dikeluarkan sangat besar. Bahkan sudah ada beberapa perusahaan lokal yang lebih memilih merelokasi perusahaannya ke luar negeri. Karena jelas para pengusaha yang berorientasi keuntungan, sehingga jika tidak lagi dihargai dan sistem sulit diperbaiki, jalan satu-satunya adalah mencari negara yang lebih menghormati dan menghargai perusahaannya.
Masalah birokrasi ini juga tidak hanya dialami pengusaha lokal tapi juga ternyata investor-investor asing yang malah juga dijadikan dijadikan sapi perah. Ditambah dengan polemik Upah Minimum Provinsi (UMP) dan masalah keamanan yang juga belum terselesaikan hingga saat ini, disebabkan karena gerak lambat dari pemerintah. Masalah kompleks tersebut menyebabkan para investor asing harus berpikir ulang jika ingin berinvestasi di Indonesia. Jika pengusaha dari dalam lesu dan investor luar juga enggan melirik Indonesia. Maka bukan tidak mungkin, perekonomian Indonesia akan mengalami kolaps yang parah.

Hal ini bisa dilihat dari Indeks daya saing Indonesia yang turun pada hasil survey World Economic Forum (WEF). Indonesia berada di peringkat 46 tahun lalu menjadi peringkat 50 tahun ini dari 144 negara. Dari tahun ke tahun, Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara lain. Baik dari segi jumlah pengusaha, perbaikan kualitas iklim usaha dan aspek-aspek lainnya.

Jika tidak ingin melihat perekonomian Indonesia semakin memburuk, maka sebaiknya Pemerintah melakukan implementasi terhadap program-program yang selama ini sudah dijanjikan dengan baik. Seperti program satu atap yang saat ini sudah berjalan juga harus benar-benar di evaluasi. Karena masih terjadi pemungutan uang diluar prosedur. Begitu pula dengan janji untuk memangkas waktu pengurusan ijin menjadi 17 hari harus segera terealisasikan, maksimal 100 hari pertama di Tahun 2013. Selain itu sanksi tegas juga harus diberikan kepada oknum-oknum yang masih melakukan pelanggaran dan mempersulit perizinan usaha, agar menjadi shock therapy  bagi yang lain. Karena selama ini meski sanksi bagi oknum yang melanggar sudah di atur, tapi tidak ada pelaksanaan yang tegas dalam penegakan aturan tersebut. Sehingga membuat praktek korupsi di kelembagaan birokrasi perizinan usaha ini semakin merajalela. Kebijakan pemerintah harus melindungi pengusaha baik lokal maupun asing secara seimbang dan berpihak kepada masyarakat.

Para pengusaha yang banyak tergabung dalam asosiasi, himpunan dan komuntas lainnya juga sebaiknya berperan aktif untuk memeberikan masukan dan melakukan pengawasan terhadap program-program yang dijalankan pemerintah terkait perbaikan situasi dunia usaha.

 Akhirnya, tinggal keseriusan pemerintah yang sebaiknya dibuktikan dengan tindakan cepat dan nyata dari pusat hingga daerah. Sementara para pengusaha tak akan pernah bisa berkembang dan menjadi solusi masalah ekonomi bangsa, selama masih ada birokrasi yang di buat-buat menjadi rumit serta pemerintah yang korup.

Lalu betulkah bahwa orang di Indonesia yang membuka usaha itu sudah pada gila? Karena berani mengambil jalur wirausaha sebagai jalan hidup?, meski di negara ini banyak masalah dan tantangan yang harus dihadapi?.
Saya sendiri tidak tahu, karena saya juga baru merintis. Belum bertemu rintangan yang betul-betul berat sebagai seorang pengusaha. Tapi yang kini saya yakini adalah : Modal untuk berwirausaha itu adalah Tuhan, Kejujuran, Pengetahuan serta sedikit ~Kegilaan~. 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls