Terima kasih sudah menyempatkan waktu anda untuk membaca tulisan ini. Yang judul sebenarnya adalah "Penyakit Birokrasi Menjegal Pengusaha". Tulisan ini saya kirimkan ke sebuah media lokal di Kalsel 1 minggu silam. Tapi oleh pihak redaksi masih dianggap belum layak muat.
Sumber tulisan ini sendiri adalah hasil diskusi yang saya tonton di sebuah televisi ditambah beberapa referensi dari internet. Mungkin kawan-kawan yang pernah merasakan bagaimana rasanya mengurus perizinan usaha bisa berbagi disini. Saya sendiri memang mengalami 'kesulitan' dan memerlukan waktu yang lama meski hanya untuk mengurusi dokumen perizinan usaha. Dan silahkan beri masukan terhadap tulisan saya, mengingat saya masih harus banyak belajar dari rekan-rekan yang sudah berpengalaman.
Menjelang
akhir tahun 2012, Indonesia nampaknya belum menjadi surga bagi para Entrepreuner. Dahi para pelaku usaha malah
semakin berkerut karena masih buruknya birokrasi dalam penanganan dunia usaha.
Salah satu penyakit warisan yang belum sembuh hingga sekarang adalah masalah
perijinan usaha yang rumit dan berbelit-belit.
Memang
kurang menyenangkan saat melihat hasil survey The Asia Foundation, dimana Indonesia
masih menempati peringkat pertama di antara Negara-negara Asia-Pasifik sebagai
Negara terlama dan korup dalam hal pengurusan izin usaha (Sumber :
unisosdem.org).
Dalam
laporan Doing Business oleh International Finance Corporation (IFC).
Disebutkan bahwa untuk mendirikan usaha di Indonesia menghabiskan rata-rata 9
prosedur, 33 hari dan 22 % dari pendapatan per kapita nasional (Sumber :
yptrading.co.id). Hasil ini memang lebih cepat 13 hari dan 8 % lebih murah dibandingkan
laporan tahun 2010. Tapi Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara
Asia-Pasifik lainnya. Sebut saja Malaysia, negara tetangga ini hanya memerlukan
waktu 10 hari saja untuk mengurus izin mendirikan usaha. Sementara
negara-negara seperti Selandia Baru, Australia dan Singapura hanya perlu 3 hari
dan biaya 1 % saja dari pendapatan perkapita yang perlu dibayarkan dalam proses
perizinan. Bahkan di Thailand proses izin usaha hanya memerlukan waktu selama 1
hari.
Tidak
maksimal dan buruknya pelayanan serta banyak sekali pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab memanfaatkan birokrasi ini, membuat para pengusaha yang ingin
melegalkan usahanya memilih menjalankan usaha meski tanpa izin. Adapun yang
berusaha mengurus dengan baik, malah kerap tidak mendapatkan kejelasan kecuali
mereka mau mengeluarkan uang yang tidak jelas digunakan untuk apa. Pengamat
ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan bahwa dari 7.500 perusahaan di
Indonesia yang mengajukan izin usaha, hanya sepertiganya yang terlayani dengan
baik (Sumber : Media Indonesia.com). Pemerintah yang berasalan kekurangan
tenaga untuk melayani sebetulnya tidak masuk akal, karena jumlah PNS yang mencapai
4,7 Juta orang ditambah Struktur Kabinet yang sangat gemuk. Tak sebanding
dengan jumlah pengusaha Indonesia yang hanya berjumlah 400 ribu, atau hanya
0,18 % dari 240 juta penduduk Indonesia.
Sikap
pemerintah seolah-olah menjegal para pengusaha yang diharapkan mampu menjadi
solusi bagi kemiskinan dan pengangguran yang melanda negeri ini. Bagaimana
mungkin sebuah perusahaan akan bisa berkembang dengan pesat jika tidak memiliki
izin yang legal. Karena dengan izin tersebut, sebuah perusahaan bisa
mendapatkan akses kredit dan perbankan untuk menambah modal. Begitu pula jika
ingin menembus pasar yang lebih luas, misalnya pasar-pasar modern di dalam dan
luar negeri.
Padahal
dengan mudahnya mendapatkan status formal bagi pelaku usaha terutama sektor
Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), Negara sebetulnya juga bisa mendapatkan
keuntungan. Dengan status informal saja, UMKM mampu memperkerjakan 79 % tenaga
kerja di Indonesia dan mampu menyumbang 56 % dari PBD setiap tahun. Entah
kenapa pihak pemerintah enggan memanfaatkan peluang ini. Dari penelitian Pusat
Layanan Perizinan Terpadu (PLPT) The Asia
Foundation menyebutkan bahwa laba perusahaan pada umumnya naik setelah di
formalisasi. Hal serupapun sebetulnya bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
jika mau lebih serius memperbaiki masalah perizinan ini. Target pemerintah
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 8 % per tahun juga bisa segera
terwujud.
Namun,
pada kenyataannya. Meski para pengusaha mengetahui bahwa izin usaha juga bisa
membantu perkembangan usahanya. Banyak yang enggan berurusan dengan birokrasi
pemerintahan. Hal ini karena para pengusaha memperhitungkan manfaat perizinan
yang kecil, sementara biaya yang dikeluarkan sangat besar. Bahkan sudah ada
beberapa perusahaan lokal yang lebih memilih merelokasi perusahaannya ke luar
negeri. Karena jelas para pengusaha yang berorientasi keuntungan, sehingga jika
tidak lagi dihargai dan sistem sulit diperbaiki, jalan satu-satunya adalah
mencari negara yang lebih menghormati dan menghargai perusahaannya.
Masalah
birokrasi ini juga tidak hanya dialami pengusaha lokal tapi juga ternyata
investor-investor asing yang malah juga dijadikan dijadikan sapi perah. Ditambah
dengan polemik Upah Minimum Provinsi (UMP) dan masalah keamanan yang juga belum
terselesaikan hingga saat ini, disebabkan karena gerak lambat dari pemerintah.
Masalah kompleks tersebut menyebabkan para investor asing harus berpikir ulang
jika ingin berinvestasi di Indonesia. Jika pengusaha dari dalam lesu dan
investor luar juga enggan melirik Indonesia. Maka bukan tidak mungkin, perekonomian
Indonesia akan mengalami kolaps yang parah.
Hal
ini bisa dilihat dari Indeks daya saing Indonesia yang turun pada hasil survey World Economic Forum (WEF). Indonesia
berada di peringkat 46 tahun lalu menjadi peringkat 50 tahun ini dari 144
negara. Dari tahun ke tahun, Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara
lain. Baik dari segi jumlah pengusaha, perbaikan kualitas iklim usaha dan
aspek-aspek lainnya.
Jika
tidak ingin melihat perekonomian Indonesia semakin memburuk, maka sebaiknya
Pemerintah melakukan implementasi terhadap program-program yang selama ini
sudah dijanjikan dengan baik. Seperti program satu atap yang saat ini sudah
berjalan juga harus benar-benar di evaluasi. Karena masih terjadi pemungutan
uang diluar prosedur. Begitu pula dengan janji untuk memangkas waktu pengurusan
ijin menjadi 17 hari harus segera terealisasikan, maksimal 100 hari pertama di
Tahun 2013. Selain itu sanksi tegas juga harus diberikan kepada oknum-oknum
yang masih melakukan pelanggaran dan mempersulit perizinan usaha, agar menjadi shock therapy bagi yang lain. Karena selama ini meski sanksi
bagi oknum yang melanggar sudah di atur, tapi tidak ada pelaksanaan yang tegas
dalam penegakan aturan tersebut. Sehingga membuat praktek korupsi di
kelembagaan birokrasi perizinan usaha ini semakin merajalela. Kebijakan
pemerintah harus melindungi pengusaha baik lokal maupun asing secara seimbang
dan berpihak kepada masyarakat.
Para
pengusaha yang banyak tergabung dalam asosiasi, himpunan dan komuntas lainnya
juga sebaiknya berperan aktif untuk memeberikan masukan dan melakukan
pengawasan terhadap program-program yang dijalankan pemerintah terkait
perbaikan situasi dunia usaha.
Akhirnya, tinggal keseriusan pemerintah yang
sebaiknya dibuktikan dengan tindakan cepat dan nyata dari pusat hingga daerah.
Sementara para pengusaha tak akan pernah bisa berkembang dan menjadi solusi
masalah ekonomi bangsa, selama masih ada birokrasi yang di buat-buat menjadi rumit
serta pemerintah yang korup.
Lalu betulkah bahwa orang di Indonesia yang membuka usaha itu sudah pada gila? Karena berani mengambil jalur wirausaha sebagai jalan hidup?, meski di negara ini banyak masalah dan tantangan yang harus dihadapi?.
Saya sendiri tidak tahu, karena saya juga baru merintis. Belum bertemu rintangan yang betul-betul berat sebagai seorang pengusaha. Tapi yang kini saya yakini adalah : Modal untuk berwirausaha itu adalah Tuhan, Kejujuran, Pengetahuan serta sedikit ~Kegilaan~.
0 komentar:
Posting Komentar