Ilustration By Bpost |
“Siapa itu Dod?,
Ayahmu ya?”, Rahman teman sekelasnya menanyakan bapak-bapak yang mengantarkan Dodi ke Sekolah.
“Eh… Bukan, dia
cuman tukang ojek. Ada-ada saja kau ini”. Dodi agak sengit ditanya oleh Rahman
dan buru-buru memasuki kelas.
Hari itu, Dodi
memang untuk pertama kali diantar ke sekolah. Biasanya dia lebih memilih jalan
kaki. Tapi karena hari itu dia bangun kesiangan, terpaksa dia harus diantar
dengan sepeda motor agar tidak terlambat. Ya, Dodi merasa terpaksa karena tidak
ingin teman-temannya melihat sosok bapak-bapak tadi.
“Aku malu jika kau
datang ke sekolah”. Kata Dodi dengan terus terang, tanpa memperdulikan perasaan
Bapak itu. Pak Salman, namanya dan dia Ayah Dodi. Pria berusia 45
tahun itu hanya mengangguk dan berusaha memahami perasaan anaknya meski dalam
hatinya sangat perih. Baginya, anaknya sudah mengalami banyak kepedihan. Ibu
Dodi pergi pada saat usianya baru 11 tahun. Ibu Dodi akhirnya pergi bersama
lelaki lain. Hanya karena satu kekurangan, yaitu karena Pak Salman bisu.
“Nanti-nanti kalau
saya bangun kesiangan, lebih baik gak usah sekolah pak. Gak usah dianterin
segala”. Dodi berbicara agak ketus
dengan ayahnya saat makan malam.
Pak Salman menatap
anaknya sebentar, lalu kemudian menepuk bahu Dodi agar memperhatikan dirinya.
Pak Salman berbicara menggunakan bahasa isyarat yang mengambarkan bahwa apapun
kondisinya Dodi harus tetap sekolah. Agar Dodi memiliki masa depan cerah.
“Bapak tidak usah
nasehatin Dodi deh, kalau Bapak ingin Dodi jadi orang sukses, Bapak turuti saja
apa kemauan Dodi. Kalau tidak, Dodi akan berhenti sekolah”.
Pak Salman terdiam,
seperti itulah sikap anaknya jika mendapat nasehat darinya. Oh, seandainya
dirinya berkomunikasi dengan suara.. pikir Pak Salman. Mungkin dirinya bisa
melembutkan hati anaknya sedikit.
“Malam ini aku
tidak nafsu makan.” Dodi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya.
Meski harus
menghadapi sikap anaknya yang sinis terdahap dirinya. Pak Salman selalu
mendoakan anak semata wayangnya itu. Saat Dodi terlelap, Pak Salman bangun di
sepertiga malam untuk memohon kepada yang maha kuasa agar diberikan kesehatan
untuk mencari rezeki bagi kehidupan dan pendidikan Dodi. Usai melaksanakan
sholat, Pak Salman selalu menghampiri kamar Dodi dan sembunyi-sembunyi melihat
wajah anaknya yang tertidur. Dalam hati dia berkata dalam hati, “Nak, kau akan
hidup bahagia. Ayah akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan segala
impianmu”.
***
“Aku ingin kuliah ke pulau Jawa, ini biasa
pendaftaran, tes dan biaya hidup bulanan di sana. Kira-kira ada sekitar Rp50 juta
untuk 8 semester. Aku minta semua uangnya bisa ku bawa saat aku berangkat ke
Jawa, supaya Bapak tidak perlu repot-repot transfer”. Dodi menyerahkan brosur
dan daftar biaya yang sudah dibuatnya, setelah menyerahkan raport kelulusannya
yang mendapatkan prestasi tiga besar di kelas.
“Apakah harus ke
Jawa, nak?. Tak adakah Perguruan Tinggi di Kalimantan yang cocok untukmu.
Disini biayanya lebih murah nak”. Pak Salman membujuk anaknya dengan bahasa
isyarat.
“Hmm, jadi
alasannya biaya kan Pak?, sudah Dodi duga. Masa depan Dodi tak akan berbeda
jauh dengan Bapak. Yaitu menjadi pecundang. Sia-sia Dodi selama ini belajar
giat. Jika Dodi tidak bisa kuliah di Jawa, maka Dodi tidak akan kuliah, biar Dodi
jadi pengangguran saja!!!”, Dodi langsung pergi meninggalkan Pak Salman.
Bagi Dodi, tidak
ada masa depan jika dia masih hidup satu rumah dengan Ayahnya. Dia sudah lelah
menyembunyikan ayahnya dari teman-temannya agar tidak di ejek. Dia ingin bebas,
hidup tanpa rasa malu. Jika berhasil kuliah di Jawa, maka dia akan mencari
pekerjaan di sana, menetap bahkan menikah dengan gadis di sana. Lepas dari bayang-bayang
ayahnya. Dodi kemudian teringat kata-kata ibunya, saat dia lebih memilih tinggal
dengan ayahnya.
“Ayahmu itu hanya
pembawa sial, kau hanya akan mengalami kesialan jika hidup dengannya!!!”.
Kata-kata itu dikeluarkan ibunya di depan Dodi yang dipeluk oleh Ayahnya.
“Benar… kini aku
benar-benar sial. Sisa hidupku hanya akan dihabiskan dengan kesia-siaan. Bahkan
aku mungkin hanya bisa berprofesi seperti dia, seorang tukang ojek!!!”. keluh
Dodi
Sementara di rumah Pak
Salman sendirian, hanya termenung melihat besarnya biaya yang harus dicarinya.
“Kemana aku mencari uang sebesar ini???”. Pak Salman berpikir keras, tidak
ingin anaknya bersedih dan kehilangan cita-citanya untuk kuliah di Jawa.
Setelah berapa lama, Pak Salman akhirnya teringat dengan temannya sesama tukang
ojek. Pak Panji yang sempat terlilit hutang dengan rentenir dengan biaya besar,
pernah bercerita padanya bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk melunasi
hutang tersebut.
“Ini adalah langkah terakhir, jika tak ada usaha lain lagi
yang bisa kita lakukan”. Kata-kata itu diingatnya dengan jelas.
***
Empat hari kemudian,
Pak Salman mendatangi kamar Dodi. “Kapan kau mau pergi ke Jawa???”. Tanya Pak
Salman dengan isyarat tangannya.
“Kapan???... Bapak
gak ingat, bapak gak punya biaya untuk aku pergi ke sana??”. Dodi mengernyitkan
dahi dan agak sedikit kesal dengan pertanyaan ayahnya.
Pak Salman lalu
menyerahkan sebuah amplop. Dodi membukanya dan terkejut melihat isinya berupa
uang yang mungkin sekitar 25 juta. “Pergilah ke Jawa nak, gapai cita-citamu”,
Isyarat Pak Salman sambil mengelus kepala Dodi. Dodi sebetulnya heran dan ingin
bertanya dari mana asal uang tersebut, namun diurungkannya. Baginya ini adalah
kesempatan untuk pergi sejauh mungkin dan mengejar cita-citanya.
Di hari
keberangkatan Dodi, Pak Salman tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Seolah-olah dia tidak akan bertemu lagi dengan Dodi, berat rasanya melepas
satu-satunya anak bahkan satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya ini.
Namun, bagi Dodi. Ini adalah salah satu moment paling membahagiakan dalam
hidupnya, inilah hal yang sudah sangat lama diimpikannya. Yaitu pergi dari
mimpi buruk yang dia alami semenjak usia 11 tahun. Di pulau Jawa sana, mimpi
indah sudah menanti. Hari itu, keduanya berpisah dengan perasaan yang berbeda.
***
2 Tahun sudah, Dodi
Kuliah di Jawa. Dia bahagia, Tak sedikitpun terpikir untuk pulang ke Kalimantan
dan menemui Ayahnya. Bahkan, nomor Handphonenya dia ganti, sehingga Ayahnya tidak
bisa menelponnya. Meski nomor Ayahnya meski disimpannya. Mungkin suatu hari
nanti dia ingin menemui ayahnya, pikir Dodi. Tapi tidak sekarang.
Saat sedang santai di kost-kostannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketok oleh Harris teman
satu kostnya.
“Dod… di luar ada
bapak-bapak yang nyari-nyari kamu tuh, dari Kalimantan katanya”. Dodi terkesiap
mendengar ada seseorang yang sedang mencari dirinya, apakah ayahnya?, bagaimana
mungkin bapaknya bisa datang ke Jawa dan menemukan alamatnya?
“Si…. Siapa nama
bapak itu???”, Dodi tergagap-gagap. Jika itu adalah ayahnya, Dodi ingin kabur
saja sekarang.
“Namanya Pak Panji,
asalnya sama dari daerahmu juga, Banjarbaru”.
Panji????, siapa
itu?, pikir Dodi. Tapi untunglah yang datang bukan Ayahnya. Akhirnya Dodi
memberanikan diri menuju beranda rumah dan menemui sesosok pria.
“Pak Panji ini
siapa ya, ada apa mencari saya???”.
“Oh…. Ini dik Dodi
ya? Anaknya Pak Salman?”.
“I…Iya”. Dodi
terkejut, Pak Panji mengenal dan menanyakan Bapaknya.
“Hmmm… begini. Dik
Dodi sudah tau kabarnya Pak Salman sekarang???”.
“Kabar apa???, saya
sudah lama tidak berhubungan dengan dia semenjak kuliah di Jawa”.
“Baiklah dik
Panji,begini kedatangan saya kemari untuk menyampaikan pesan Pak Salman, karena
beliau tidak bisa menyampaikannya sendiri”.
“Memangnya
kenapa???”, Dodi penasaran mengenai pesan yang dibawa oleh Pak Panji
“Mohon maf dik.. Pak
Salman, sudah meninggal dunia seminggu yang lalu”.
Dodi agak sedikit
terkejut, namun tidak terlalu sedih karena dirinya memang tidak terlalu
mencintai ayahnya tersebut.
“Beberapa saat
sebelum beliau meninggal, Pak Salman
berkerja sangat keras sehingga jatuh sakit. Saat saya nasehati untuk
beristirahat, beliau mengatakan ingin mengumpulkan uang untuk pergi ke Jawa dan
menjenguk dik Dodi”.
Dodi terdiam
mendengar cerita Pak Panji.
“Sakit beliau
selain karena pekerjaan yang terlalu keras, juga diakibatkan efek samping dari
donor hati yang dilakukan beliau sekitar tiga tahun silam. Beliau bersikeras
untuk tidak berobat mengatasi penyakit tersebut, karena menyimpan uangnya agar
bisa pergi ke Jawa”.
“Donor hati???
Untuk apa???”. Dodi terkejut bukan main, mengetahui ayahnya pernah melakukan
donor organ tubuh.
“Iya, beliau ingin mencari
uang untuk kuliah dik Dodi ke Jawa. Saat itu sayalah yang mengantarkan Pak
Salman kepada seseorang yang mencari pendonor. Karena merasa bersalah, setelah
beliau meninggal saya memutuskan untuk pergi ke Jawa dan menyampaikan pesan
dari beliau”. Dodi hanya terdiam, tak terasa air mata mengalir dari matanya. Wajah sedih ayahnya saat melepas kepergiaannya. Itulah
wajah terakhir ayahnya yang bisa dia ingat.
“Pak Salman hanya
ingin bilang. Bahwa beliau meminta maaf karena selama ini tidak bisa menjadi ayah
yang baik. Beliau berharap semoga Dodi bisa selalu hidup bahagia”.
Suasana hening,
Dodi menutupi wajahnya dan kedua lututnya jatuh ke lantai. Dia ingin pulang
dan bersujud di kaki ayahnya, “Durhaka aku… durhaka!!!!” Pekik Dodi dihadapan
Pak Panji, namun apa guna. Kini jasad Ayahnya sudah terbaring di Bumi
Kalimantan.
0 komentar:
Posting Komentar