Sabtu, 02 Juni 2012

Rahasia Seorang Ayah

Ilustration By Bpost
Dimuat di Banjarmasin Post Rubrik Seni budaya Edisi 3 Juni 2012


Siapa itu Dod?, Ayahmu ya?”, Rahman teman sekelasnya menanyakan bapak-bapak yang mengantarkan Dodi ke Sekolah.
“Eh… Bukan, dia cuman tukang ojek. Ada-ada saja kau ini”. Dodi agak sengit ditanya oleh Rahman dan buru-buru memasuki kelas.

Hari itu, Dodi memang untuk pertama kali diantar ke sekolah. Biasanya dia lebih memilih jalan kaki. Tapi karena hari itu dia bangun kesiangan, terpaksa dia harus diantar dengan sepeda motor agar tidak terlambat. Ya, Dodi merasa terpaksa karena tidak ingin teman-temannya melihat sosok bapak-bapak tadi.

“Aku malu jika kau datang ke sekolah”. Kata Dodi dengan terus terang, tanpa memperdulikan perasaan Bapak itu. Pak Salman, namanya dan dia Ayah Dodi. Pria berusia 45 tahun itu hanya mengangguk dan berusaha memahami perasaan anaknya meski dalam hatinya sangat perih. Baginya, anaknya sudah mengalami banyak kepedihan. Ibu Dodi pergi pada saat usianya baru 11 tahun. Ibu Dodi akhirnya pergi bersama lelaki lain. Hanya karena satu kekurangan, yaitu karena Pak Salman bisu.

“Nanti-nanti kalau saya bangun kesiangan, lebih baik gak usah sekolah pak. Gak usah dianterin segala”. Dodi  berbicara agak ketus dengan ayahnya saat makan malam.
Pak Salman menatap anaknya sebentar, lalu kemudian menepuk bahu Dodi agar memperhatikan dirinya. Pak Salman berbicara menggunakan bahasa isyarat yang mengambarkan bahwa apapun kondisinya Dodi harus tetap sekolah. Agar Dodi memiliki masa depan cerah.
“Bapak tidak usah nasehatin Dodi deh, kalau Bapak ingin Dodi jadi orang sukses, Bapak turuti saja apa kemauan Dodi. Kalau tidak, Dodi akan berhenti sekolah”.
Pak Salman terdiam, seperti itulah sikap anaknya jika mendapat nasehat darinya. Oh, seandainya dirinya berkomunikasi dengan suara.. pikir Pak Salman. Mungkin dirinya bisa melembutkan hati anaknya sedikit.
“Malam ini aku tidak nafsu makan.” Dodi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya.
Meski harus menghadapi sikap anaknya yang sinis terdahap dirinya. Pak Salman selalu mendoakan anak semata wayangnya itu. Saat Dodi terlelap, Pak Salman bangun di sepertiga malam untuk memohon kepada yang maha kuasa agar diberikan kesehatan untuk mencari rezeki bagi kehidupan dan pendidikan Dodi. Usai melaksanakan sholat, Pak Salman selalu menghampiri kamar Dodi dan sembunyi-sembunyi melihat wajah anaknya yang tertidur. Dalam hati dia berkata dalam hati, “Nak, kau akan hidup bahagia. Ayah akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan segala impianmu”.
***
 “Aku ingin kuliah ke pulau Jawa, ini biasa pendaftaran, tes dan biaya hidup bulanan di sana. Kira-kira ada sekitar Rp50 juta untuk 8 semester. Aku minta semua uangnya bisa ku bawa saat aku berangkat ke Jawa, supaya Bapak tidak perlu repot-repot transfer”. Dodi menyerahkan brosur dan daftar biaya yang sudah dibuatnya, setelah menyerahkan raport kelulusannya yang mendapatkan prestasi tiga besar di kelas.

“Apakah harus ke Jawa, nak?. Tak adakah Perguruan Tinggi di Kalimantan yang cocok untukmu. Disini biayanya lebih murah nak”. Pak Salman membujuk anaknya dengan bahasa isyarat.

“Hmm, jadi alasannya biaya kan Pak?, sudah Dodi duga. Masa depan Dodi tak akan berbeda jauh dengan Bapak. Yaitu menjadi pecundang. Sia-sia Dodi selama ini belajar giat. Jika Dodi tidak bisa kuliah di Jawa, maka Dodi tidak akan kuliah, biar Dodi jadi pengangguran saja!!!”, Dodi langsung pergi meninggalkan Pak Salman.
Bagi Dodi, tidak ada masa depan jika dia masih hidup satu rumah dengan Ayahnya. Dia sudah lelah menyembunyikan ayahnya dari teman-temannya agar tidak di ejek. Dia ingin bebas, hidup tanpa rasa malu. Jika berhasil kuliah di Jawa, maka dia akan mencari pekerjaan di sana, menetap bahkan menikah dengan gadis di sana. Lepas dari bayang-bayang ayahnya. Dodi kemudian teringat kata-kata ibunya, saat dia lebih memilih tinggal dengan ayahnya.

“Ayahmu itu hanya pembawa sial, kau hanya akan mengalami kesialan jika hidup dengannya!!!”. Kata-kata itu dikeluarkan ibunya di depan Dodi yang dipeluk oleh Ayahnya.
“Benar… kini aku benar-benar sial. Sisa hidupku hanya akan dihabiskan dengan kesia-siaan. Bahkan aku mungkin hanya bisa berprofesi seperti dia, seorang tukang ojek!!!”. keluh Dodi
Sementara di rumah Pak Salman sendirian, hanya termenung melihat besarnya biaya yang harus dicarinya. “Kemana aku mencari uang sebesar ini???”. Pak Salman berpikir keras, tidak ingin anaknya bersedih dan kehilangan cita-citanya untuk kuliah di Jawa. Setelah berapa lama, Pak Salman akhirnya teringat dengan temannya sesama tukang ojek. Pak Panji yang sempat terlilit hutang dengan rentenir dengan biaya besar, pernah bercerita padanya bagaimana dia bisa mendapatkan uang untuk melunasi hutang tersebut. 
“Ini adalah langkah terakhir, jika tak ada usaha lain lagi yang bisa kita lakukan”. Kata-kata itu diingatnya dengan jelas.
***
Empat hari kemudian, Pak Salman mendatangi kamar Dodi. “Kapan kau mau pergi ke Jawa???”. Tanya Pak Salman dengan isyarat tangannya.
“Kapan???... Bapak gak ingat, bapak gak punya biaya untuk aku pergi ke sana??”. Dodi mengernyitkan dahi dan agak sedikit kesal dengan pertanyaan ayahnya.
Pak Salman lalu menyerahkan sebuah amplop. Dodi membukanya dan terkejut melihat isinya berupa uang yang mungkin sekitar 25 juta. “Pergilah ke Jawa nak, gapai cita-citamu”, Isyarat Pak Salman sambil mengelus kepala Dodi. Dodi sebetulnya heran dan ingin bertanya dari mana asal uang tersebut, namun diurungkannya. Baginya ini adalah kesempatan untuk pergi sejauh mungkin dan mengejar cita-citanya.

Di hari keberangkatan Dodi, Pak Salman tak henti-hentinya meneteskan air mata. Seolah-olah dia tidak akan bertemu lagi dengan Dodi, berat rasanya melepas satu-satunya anak bahkan satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya ini. Namun, bagi Dodi. Ini adalah salah satu moment paling membahagiakan dalam hidupnya, inilah hal yang sudah sangat lama diimpikannya. Yaitu pergi dari mimpi buruk yang dia alami semenjak usia 11 tahun. Di pulau Jawa sana, mimpi indah sudah menanti. Hari itu, keduanya berpisah dengan perasaan yang berbeda.
***
2 Tahun sudah, Dodi Kuliah di Jawa. Dia bahagia, Tak sedikitpun terpikir untuk pulang ke Kalimantan dan menemui Ayahnya. Bahkan, nomor Handphonenya dia ganti, sehingga Ayahnya tidak bisa menelponnya. Meski nomor Ayahnya meski disimpannya. Mungkin suatu hari nanti dia ingin menemui ayahnya, pikir Dodi. Tapi tidak sekarang.
Saat sedang santai di kost-kostannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketok oleh Harris teman satu kostnya.
“Dod… di luar ada bapak-bapak yang nyari-nyari kamu tuh, dari Kalimantan katanya”. Dodi terkesiap mendengar ada seseorang yang sedang mencari dirinya, apakah ayahnya?, bagaimana mungkin bapaknya bisa datang ke Jawa dan menemukan alamatnya?

“Si…. Siapa nama bapak itu???”, Dodi tergagap-gagap. Jika itu adalah ayahnya, Dodi ingin kabur saja sekarang.
“Namanya Pak Panji, asalnya sama dari daerahmu juga, Banjarbaru”.
Panji????, siapa itu?, pikir Dodi. Tapi untunglah yang datang bukan Ayahnya. Akhirnya Dodi memberanikan diri menuju beranda rumah dan menemui sesosok pria.

“Pak Panji ini siapa ya, ada apa mencari saya???”.
“Oh…. Ini dik Dodi ya? Anaknya Pak Salman?”.
“I…Iya”. Dodi terkejut, Pak Panji mengenal dan menanyakan Bapaknya.
“Hmmm… begini. Dik Dodi sudah tau kabarnya Pak Salman sekarang???”.
“Kabar apa???, saya sudah lama tidak berhubungan dengan dia semenjak kuliah di Jawa”.
“Baiklah dik Panji,begini kedatangan saya kemari untuk menyampaikan pesan Pak Salman, karena beliau tidak bisa menyampaikannya sendiri”.
“Memangnya kenapa???”, Dodi penasaran mengenai pesan yang dibawa oleh Pak Panji
“Mohon maf dik.. Pak Salman, sudah meninggal dunia seminggu yang lalu”.
Dodi agak sedikit terkejut, namun tidak terlalu sedih karena dirinya memang tidak terlalu mencintai ayahnya tersebut.

“Beberapa saat sebelum beliau meninggal,  Pak Salman berkerja sangat keras sehingga jatuh sakit. Saat saya nasehati untuk beristirahat, beliau mengatakan ingin mengumpulkan uang untuk pergi ke Jawa dan menjenguk dik Dodi”.
Dodi terdiam mendengar cerita Pak Panji.

“Sakit beliau selain karena pekerjaan yang terlalu keras, juga diakibatkan efek samping dari donor hati yang dilakukan beliau sekitar tiga tahun silam. Beliau bersikeras untuk tidak berobat mengatasi penyakit tersebut, karena menyimpan uangnya agar bisa pergi ke Jawa”.
“Donor hati??? Untuk apa???”. Dodi terkejut bukan main, mengetahui ayahnya pernah melakukan donor organ tubuh.
“Iya, beliau ingin mencari uang untuk kuliah dik Dodi ke Jawa. Saat itu sayalah yang mengantarkan Pak Salman kepada seseorang yang mencari pendonor. Karena merasa bersalah, setelah beliau meninggal saya memutuskan untuk pergi ke Jawa dan menyampaikan pesan dari beliau”. Dodi hanya terdiam, tak terasa air mata mengalir dari matanya. Wajah sedih ayahnya saat melepas kepergiaannya. Itulah wajah terakhir ayahnya yang bisa dia ingat.
“Pak Salman hanya ingin bilang. Bahwa beliau meminta maaf karena selama ini tidak bisa menjadi ayah yang baik. Beliau berharap semoga Dodi bisa selalu hidup bahagia”.

Suasana hening, Dodi menutupi wajahnya dan kedua lututnya jatuh ke lantai. Dia ingin pulang dan bersujud di kaki ayahnya, “Durhaka aku… durhaka!!!!” Pekik Dodi dihadapan Pak Panji, namun apa guna. Kini jasad Ayahnya sudah terbaring di Bumi Kalimantan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls