Rabu, 14 Maret 2012

"Katakan yang Benar Meski Pahit " : Rasakan yang pahit, berikan yang manis


Sore yang cerah pada hari senin, 12 Maret 2012. Alhamdullillah dipermudah untuk duduk di dalam majelis bedah buku "Dalam dekapan Ukhuwah" yang ditulis juga sekalian disampaikan oleh Salim A. Fillah.

"Iman adalah hubungan, hubungan harus dengan iman,iman dan hubungan harus dijaga dengan ikhtiar". Ungkap beliau menjelaskan hubungan antara Iman deengan hubungan antar sesama manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim diwajibkan untuk menjaga ukhuwah sebagai bentuk dari keimanannya. Bahkan bagi seorang da'i, berdakwah dengan cara hikmah atau mengatakan yang baik jauh lebih utama daripada berdakwah dengan cara menyampaikan yang benar, apalagi hingga berdebat. Karena akan sangat rentan menyakiti perasaan orang lain bahkan memperburuk ikatan ukhuwah.

Ane pun coba merenung, mengenai beberapa kesalahan, dimana ane kerap menyakiti perasaan orang lain dengan alasan dakwah. Bahkan mungkin sampai-sampai membawa hadits yang berbunyi "Katakan yang benar meskipun pahit". Padahal menurut Salim A. Fillah, orang-orang yang membawa-bawa hadits ini untuk melukai perasaan orang lain dengan alasan kebenaran, belumlah melihat hadits secara keseluruhan. Beliau lalu menceritakan riwayat munculnya hadits ini....

"Suatu hari ada seorang pedagang yang datang kepada Rasulullah, dia mengaku ditipu oleh seorang pedagang lainnya sehingga barang-barang yang sudah dibelinya ternyata sudah rusak dan tidak layak jual. Sementara penipu itu tidak terlihat lagi batang hidungnya. Maka bolehkah aku(pedagang yang tertipu) juga berlaku selayaknya penipu tadi, dengan menyembunyikan kerusakan barangnya pada orang lain sehingga uang kerugianku bisa kembali?. Rasulullah lalu menjawab,Katakanlah yang benar meskipun itu pahit".(Abu Dzar Radhiallahu anhu)

Menurut Salim A. Fillah, katakanlah yang benar meskipun pahit itu ditujukan kepada pembicara, baik yang benar maupun yang pahitnya. Bukan malah memberikan yang pahit pada orang lain, meskipun kita berkata benar.

Ada sebuah cerita yang menarik yang pernah saya dengar. Tentang kisah seorang pemuda bernama Bidin, Bidin adalah pemuda asal kota Martapura yang sangat baik. Cita-citanya sederhana, memberikan bantuan bagi orang-orang disekelilingnya. Hanya saja sayang, dalam prakteknya 1 kebaikan yang dilaksanakan Bidin selalu mengundang 2 bencana bagi orang lain. Mungkin Bidin kurang beruntung.

Hingga akhirnya, pada suatu hari Bidin melihat ada seorang Ibu-ibu yang ingin pergi ke pasar Martapura, kerepotan menyetop taxi di pinggir jalan. Dengan polosnya, Bidin menghampiri ibu tersebut dan yang pastinya menawarkan sebuah bantuan.

"Ibu, saya bantu menyetop taxi nya ya...", tanpa ba-bi-bu Bidin seakan-akan bisa membaca pikiran ibu tersebut. Si Ibu yang terkaget-kaget dengan kehadiran sosok aneh disampingnya, tanpa sempat mengiyakan permohonan izin Bidin, hanya bisa melongo melihat Bidin yang dengan gagah beraninya melompat ke tengah jalan yang sedang ramai dilalui oleh kendaraan bermotor.

Akhirnya, seketika itu pula. Sebuah mobil yang melaju kencang dan hampir saja menabrak Bidin, namun karena supirnya adalah mantan atlet bola, sehingga dengan gesit kakinya bisa menginjak rem sekuat tenaga dan berhasil mengehentikan mobilnya. Tapi malang, dibelakang masih ada sekitar 15 motor dan 7 mobil yang sayangnya kaki-kaki mereka tak segesit supir mobil paling depan. Sehingga, hari itu terjadilah tabrakan beruntun terbesar yang pernah terjadi di Kabupaten Banjar. "Ibu, silahkan lewat..". Bidin mempersilahkan si Ibu tadi yang sebenarnya sudah pingsan tak sadarkan diri. Beruntunglah, hari itu tidak ada korban jiwa yang gugur.

Mengetahui kejadian naas ini, membuat marah Pak RT di kampung Bidin. Pak RT menghampiri Bidin yang wajahnya masih ceria meski baru saja datang setelah ditahan di kantor polisi selama 3 hari.
"Bidin.., mulai detik ini, kapanpun, dimanapun, kepada siapapun, jangan sekali-kali kamu membantu orang lain!!!", tegas Pak RT.

"Tap..tapi...". Mata Bidin berkaca-kaca mengetahui hobbynya selama ini harus menjadi barang haram oleh Pak RT.

"Tidak ada, tapi-tapian!!!, pokoknya kapanpun, dimanapun, kepada siapapun, jangan sekali-kali kamu bantu orang lain. Titik!!!!!!!!". Pak RT sampai menunjuk-nunjuk dengan jempolnya ke muka Bidin.

Bidin terdiam, Pak RT pulang. "Apa lagi gunanya hidupku?", Bidin membatin.

Bidin duduk di musholla kampung. Merenungi nasibnya, tak tahu lagi dia harus berbuat apa.

Somad, mahasiswa yang berprofesi sebagai marbot (penjaga) musholla sedari tadi memperhatikan sikap Bidin. Tidak biasanya, sosok Bidin tak ceria.

"Bidin, ada apa? kok cemberut?", tanya Somad. Bidin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Kau biasanya ceria, pasti ada masalah kan? Ceritakanlah padaku, mungkin bisa kita cari solusinya". Somad berusaha merayu Bidin.

Bidin lalu menatap Somad, lalu beberapa saat dengan sesenggukan dia bercerita bahwa Pak RT telah melarangnya untuk membantu orang lain, kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun.

Somad langsung berdiri, "Siapa yang berhak melarang seseorang untuk melakukan kebaikan?, Bidin, kau boleh membantu aku di Musholla ini. Janganlah bersedih, kau tetap bisa melakukan hobbymu". Somad berkacak pinggang seakan-akan seperti pahlawan bertopeng.

Bidin langsung mengusap air matanya, wajahnya kembali berubah ceria. "Betulkah Somad?, lalu apa yang bisa aku bantu kerjakan disini???. Bidin sudah tidak sabar.

"Kau bisa membantu aku mengepel musholla".

Bidin yang memang baik, langsung mengerjakan permintaan Somad tersebut. Bahkan mungkin karena super baik, tidak hanya lantai yang dia pel. Tapi juga sajadah-sajadah, lalu kipas angin dan lampu musholla yang sedang menyala serta tentu saja peralatan sound system musholla. Akhirnya semuanya pun bersih dan basah ditambah konslet untuk alat-alat lsitrik.

Somad yang melihat kejadian ini, hanya bisa menarik nafas panjang. Hari ini terpaksa dia adzan dengan berteriak lebih nyaring agar warga satu kampung mendengar. Pak RT tentu saja, kembali datang menghampiri Bidin.

" Bidiiin, apa yang ku bilang... Kau jangan membantu siapapun, kapanpun dan dimanapun. Lihat sekarang, kau selalu saja membuat susah orang lain". Bidin hanya terdiam.
"Bidin, tatap mata saya". Pak RT mengangkat dagu Bidin yang tertunduk.
"Mulai saat ini, berjanjilah. Kau tidak akan membantu siapapun , kapanpun, dimanapun. Berjanjilah!!". Perintah Pak RT.
Bidin terdiam sejenak, lalu berkata." Iya pak RT, saya berjanji tidak akan membantu siapapun, kapanpun dan dimanapun mulai saat ini". Suara Bidin bergetar.

Akhirnya, Bidin kembali duduk termenung di Musholla. Hatinya sedikit tenang, karena sudah sholat Isya. Hingga tak lama, terdengar suara keras dari belakang musholla. "Byuuuuur", seperti ada orang tercebur. Bidin terkesiap, ada apa gerangan???, hendak Bidin menghampiri sumber bunyi itu, tapi dia sudah berjanji pada pak RT untuk tidak lagi membantu orang lain, kapanpun, dimanapun,kepada siapapun.

Namun, kembali tidak lama, ada suara orang yang minta tolong. Suaranya bergaung, seakan-akan datang dari sumur. Sudah pasti ada yang tercebur ke dalam sumur, pikir Bidin dalam hati. Bidin masih enggan melangkah, dia sudah berjanji. Bidin hanya berharap ada orang lain yang bisa mendengar selain dirinya.

Karena panasaran, akhirnya Bidin mau melangkahkan kakinya ke arah suara itu. Meski berat, karena kakinya ada beban janji pada Pak RT.

Saat melongok ke dalam sumur, betapa terkejutnya Bidin setelah mengetahui orang yang tercebur itu adalah Pak RT. Sedangkan Pak RT senang bukan kepalang setelah melihat wajah Bidin.

"Bidiiin...", seru pak RT
"Pak Rteeee....", sahut Bidin
"Bidiiin...", seru pak RT lagi
"Pak Rteeee....", sahut Bidin lagi

"Bidin, tolonglah akuu....", pinta Pak RT
"Tidak bisa pak....", jawab Bidin dengan wajah lesu
"Kenapa...???", tanya pak RT
"Karena...", sahut Bidin
"Kenapa...???", tanya pak RT lagi
"Karena...", sahut Bidin lagi. Kok di ulang-ulang terus, keluh Pak RT dalam hati

"Tolonglah Bidin, aku sudah kedinginan di bawah sini...", Pak RT memelas
"Tidak bisa pak, saya sudah janji untuk tidak membantu lagi". Jawabnya dengan terpaksa
"Tap..tapi...". Mata Pak RT berkaca-kaca
"Ingat pak RT, kapanpun, dimanapun, kepada siapapun, saya sudah berjanji tidak akan membantu ". Bidin menarik nafas panjang, siap-siap untuk beranjak pergi.

Hingga akhirnya Somad melihat Bidin yang dengan anehnya berbincang-bincang dengan lubang sumur. Setelah dihampirinya, betapa terkejutnya Somad melihat Pak RT yang merengek-rengek seperti Bayi untuk minta dikeluarkan dari sumur. Somad lalu menolong Pak RT keluar dari sana. Dan Bidin, sama sekali tidak membantu. Dia memegang teguh janjinya.

Saat sudah berhasil keluar dari lubang sumur. Pak RT yang basah oleh air sumur, keringat dan air matanya menghampiri Bidin. "Bidin, maafkanlah saya. Ini semua dikarenakan aku terlalu cepat menarik kesimpulan mengenai sebuah solusi permasalahan, seharusnya aku memberitahumu bagaimana seharusnya berbuat baik yang benar. Bukan hanya menyalahkan". Wajah Pak RT sungguh-sungguh, "Mulai saat ini, aku bebaskan kau dari janjimu untuk tidak berbuat lagi kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun". Pak RT lalu memeluk tubuh Bidin, Bidin juga terharu dan juga menyesal karena tidak bisa membantu menyelamatkan Pak RT, dia hanya bingung karena sudah tidak bisa lagi membantu orang lain, setidaknya dia masih bida menjadi orang yang menepati janji. Sedangkan Somad hanya terbengong-bengiong tidak paham. (Kisah ini didapatkan pada saat seminar bersama Boim Lebon, tulisan asli dan lebih lengkap bisa di lihat pada buku berjudul "Bad Man Bidin" karya Boim Lebon).

Seperti itulah, sebuah keharusan manusia terutama seorang muslim dalam menjaga lisan untuk tidak membuat menangis jiwa saudaranya. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah memang, meski kita tahu lidah bisa membuat badan binasa. Semoga kita semua dapat menjadi insan yang mampu meneladani Rasulullah, yakni mampu berkata-kata dengan hikmah bagi sekalian alam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls